Jumat, 04 Oktober 2013

Basuki: Jangan Hukum Mati, Sita Semua Hartanya


JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak sependapat dengan pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie yang menyebutkan kalau Ketua MK Akil Mochtar pantas dihukum mati.

Menurut Basuki, langkah paling tepat untuk menindak semua koruptor adalah dengan menyita semua harta kepemilikannya. "Paling benar, jangan dihukum mati, tapi sita semua hartanya. Karena orang bisa bertobat, kenapa harus hukuman mati sih," kata Basuki, di Balaikota Jakarta, Kamis (3/10/2013).

Kemudian, bagaimana cara Basuki dalam mengantisipasi tindak pidana korupsi di dalam tubuh Pemprov DKI? Basuki menjelaskan, Pemprov DKI kini telah bekerja sama dengan BPK untuk menciptakan sistem transaksi keuangan yang transparan atau yang dinamakan non-cash transaction (NCT).

Sistem tersebut dapat menutup celah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh Pemprov DKI. Melalui sistem tersebut, transaksi antara pihak Pemprov DKI dan rekanan atau pihak ketiga tidak lagi dilakukan secara langsung, tetapi wajib bertransaksi dari bank ke bank.

Hal ini juga berlaku bagi pihak ketiga yang membelanjakan uang itu. Selain akan mengaudit dan mengawasi transaksi keuangan di tubuh Pemprov DKI, sistem itu juga akan mengawasi pengelolaan keuangan oleh BUMD DKI.

Melalui sistem itu, kata Basuki, akan bisa diketahui pihak mana saja yang melakukan tindak korupsi. Nantinya, transaksi keuangan itu akan diaudit oleh tim auditor yang telah terakreditasi dengan dibantu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Jadi, memang kita mau transaksi non-cash. Jangan hukum mati, aku ini maha pengampun dan penyayang, hehehe," ujar Basuki meniru firman Tuhan.

Sebelumnya, mantan Ketua MK Jimly menilai, Akil terbukti secara kasatmata melakukan tindak pidana korupsi karena ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan. Sebagai ketua lembaga penegak hukum, menurutnya, hukuman yang pantas untuk Akil adalah hukuman mati.

Jimly mengatakan, meski UU tidak mengatur hukuman mati, jaksa KPK dapat menuntut hukuman mati bagi Akil. Hukuman maksimal, menurut Jimly, diperlukan untuk memberi efek jera untuk Akil sebagai pemangku jabatan paling tinggi yang pernah diciduk KPK.

Akil ditangkap KPK bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Chairun Nisa, dan seorang pengusaha bernama Cornelis di kediaman Akil di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, pada Rabu (2/10/2013) malam.

Tak lama setelahnya, penyidik KPK juga menangkap Bupati Gunung Mas Hambit Bintih serta pihak swasta berinisial DH di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat. Bersamaan dengan penangkapan ini, KPK menyita sejumlah uang dollar Singapura dan dollar Amerika yang dalam rupiah bernilai Rp 2,5 miliar-Rp 3 miliar.

Kini, KPK menetapkan Akil dan tiga orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap Pilkada Gunung Mas.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/03/2054156/Basuki.Jangan.Hukum.Mati.Sita.Semua.Hartanya.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kpopwp

Analisa : 
           Saya setuju dengan Pak Basuki bahwa langkah paling tepat untuk menindak semua koruptor adalah dengan menyita semua harta kepemilikannya. Memang benar setiap orang bisa bertobat, jadi para koruptor tidak perlu dihukum mati. Hal ini sesuai dengan Firman Tuhan bahwa kita harus mengampuni orang lain yang telah berbuat salah pada kita. Dalam kasus ini Pak Akil telah berbuat salah pada negara dengan melakukan korupsi, jadi negara harus berusaha mengampuni, tetapi tetap harus diproses secara hukum karena bagaimanapun juga korupsi itu perbuatan yang melanggar hukum.
         
           Dengan menyita semua harta seorang koruptor, maka koruptor itu pasti akan merasa jera. Ia akan merasa jera karena tidak memiliki uang maupun aset sedikitpun. Hal itu akibat dari perilaku korupsinya , jadi ia pasti akan sadar bahwa koruspi itu akan merugikan dirinya sendiri sehingga ia tidak akan melakukan korupsi lagi. 

        Saya juga setuju dengan sistem transaksi keuangan yang transparan atau yang dinamakan non-cash transaction (NCT). Melalui sistem tersebut, transaksi antara pihak Pemprov DKI dan rekanan atau pihak ketiga tidak lagi dilakukan secara langsung, tetapi transaksi dari bank ke bank. Dengan demikian maka akan bisa diketahui pihak mana saja yang melakukan tindak korupsi dilihat dari jumlah uang yang ditransfer. Hal ini akan mempermudah kerja KPK untuk segera mengetahui orang yang melakukan korupsi dan KPK bisa langsung meringkusnya.
           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar